Friday, May 20, 2011

From Jogja With Love

Minggu 2 Maret 2008 mungkin akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya dan istri. Saat itu kami masih pacaran. Sehari sebelumnya saya, seperti layaknya orang pacaran, mengajak dia untuk jalan-jalan dan makan malam. Dia menolak dengan alasan malam itu dia harus mengerjakan tugas kuliah yang harus dipresentasikan Senin pagi. Dengan sedikit memaksa saya rayu dan yakinkan dia untuk sejenak melupakan kuliah dan bermalam minggu bersama. Mengingat jarang-jarang saya punya saldo dompet yang lumayan banyak. Dia pun mau.

Sabtu siang saya, yang saat itu ketua komunitas teater kampus, menerima pemberitahuan bahwa aka nada tamu. Seorang seniman dari Jakarta akan berkunjung. Entah kesambet setan apa saya praktis lupa janji yang baru saja saya buat dengan kekasih hati. Janji tinggallah janji. Jalan-jalan hanya sebatas rencana. Acara perjamuan tamu berjalan lancar. Saya pun memutuskan untuk tidur. Saat itu sekitar pukul 2 dinihari. Huft…

Pagi buta, selepas subuh, dengan mata masih sembap saya menjemputnya di masjid depan kosnya untuk minta maaf. Reaksinya ternyata di luar dugaan saya. Dia tidak marah-marah. Biasa saja. Saya disuruh pulang mandi dan menjemputnya jam 7. Setelah mandi dan berpakaian seadanya saya jemput dia di kosnya. Dia mau memaafkan saya dengan satu syarat: mengganti kekecewaannya.
“Oke. Aku siap. Kemana?” Tanya saya dengan penuh percaya diri.
“Malioboro.” Singkat saja jawabannya, tapi cukup membuatku terhenyak. Kami di Purwokerto dan perjalanan Jogja-Purwokerto setidaknya memakan waktu empat jam sekali jalan.
“Whatz?, serius ndu?” mataku yang ngantuk mendadak terbuka sempurna.
“Ya. Dan ingat, senin pagi saya harus presentasi. Jadi, kalau mau dimaafkan ya ajak aku ke Jogja sekarang dan nanti malam aku sudah dikosan lagi.” Ekspresi wajahnya membuat saya tak bisa menolak.
“Ya udah ayo. Tapi aku mau balik ke kos dulu ganti baju.”
“Mas bisa jamin aku nggak akan menunggu kelamaan seperti semalam?” Waduh! Nada suaranya melarangku.

Setelah aku cek dompet, aku beranikan diri untuk langsung berangkat dengan hanya ‘berseragam’ kaos pendek, celana tiga per-empat, dan sandal jepit. Anything for you lah. Setelah dia mengambilkanku jaket, kami pun berangkat. Aduh sayang… aku kan ngantuk berat, dan kita kan belum sarapan.

Mission impossible itu pun dimulai. Dalam perhitungan saya, saat itu sekita pukul 8 pagi. Nyampe jogja jam 12 jika tak ada halangan semacam razia polisi, aku belum punya SIM dan tak yakin STNK ada di bagasi motor. ;)

Benar saja, perjalanan saat itu sangat aneh bagiku. Dengan mata sembap, badan pegal karena kurang tidur dan perut kosong, kubawa dia menyusuri jalanan, menuju Jogja. Dua jam perjalanan, sampai di perbatasan Kebumen-Purworejo saya benar-benar tidak kuat. Bahkan jika yang kubonceng bukan belahan jiwa yang sedang ngambek, aku akan lebih memilih pingsan. Di sebuah SPBU kami beristirahat dan sarapan. Tak lebih dari 30 menit, segelas kopi dan sepiring nasi rames cukup membuatku kembali ber-energi. Kulihat sudah tak ada mendung diwajahnya. Bensin full, dia pun sudah kenyang. Sip!
“Siap berangkat lagi, tuan putri?” tanyaku.
“Siaaaap!” dia amat bersemangat.
“Biar nyampe Jogja tidak terlalu siang, motoran-nya agak cepet ngga pa-pa ya ndu” Gendu adalah panggilan sayangku kepadanya.
“Oke, tapi tetep ati ati ya sayang” duuhhh… energiku melonjak jadi 101 persen!

Alhamdulillah tak ada halangan berarti, hanya sesekali terpepet bis dan truk gandeng yang membuatnya histeris dan mencubit punggungku dengan kekuatan jari sekeras tang.

Tak disangka, kami bisa memarkir motor di jalanan Jogjakarta sekiar jam 12 siang. Kami pun beristirahat.
Jogja, 12:10 WIB. Motor tadi lari berapa km/jam yak?


Tujuan pertama kami adalah toko souvenir.
“Mas bawa duit berapa?” tanyanya.
“Kenapa? Mau belanja ya? Pilih aja.” Saya cek dompet. Masih ada sekitar 300 ribuan.
Saya pun kemudian pamit ke toilet untuk cuci muka.

Jogja, 13:02 WIB.
Gendu di Mirota Batik.
Lelah sekali kamu ya sayang?
lelahnyaaa...


Misi pun berlanjut. Setelah belanja di toko terkenal, kini saatnya berburu di jalanan Malioboro.
Malioboro, 13:28 WIB.
Dipilih..dipilih… astaga, ternyata gendu juga cuma pakai kaos!


Kami pun menikmati suasana Jogjakarta dengan tetap ‘menggendong’ rasa lelah. Puas berbelanja kiri-kanan dan melahap kuliner khas kota Jogja kami benar-benar lupa bahwa tadi pagi kami baru saja bertengkar hebat.

Sekitar jam 3 sore kami memutuskan untuk pulang ke Purwokerto. Dari perjalanan ini saya kini benar-benar menyadari apa yang sering dibicarakan orang tentang kekuatan cinta. Walaupun mungkin secara medis energy saya harusnya sudah habis nyatanya body-ku saat ini masih full power!
Jogja, 15:14 WIB.
Bersiap pulang. Tengkyu My Shogun!


Selama perjalanan pulang gendu mengajakku bercerita macam-macam. Saya tahu dia melakukan itu agar saya tidak menjadi mengantuk. Kami sempat bertukar posisi di daerah Wates. Untung saja dia juga lihai mengendarai kuda besi. Makin cinta deh he he…

Purworejo, 17:15 WIB. misi hampir selesai


Tak ada kejadian unik selama perjalanan kami. Tapi moment ini: delapan jam diatas motor, bercelana tiga per-empat dan sandal jepit dengan perut kosong menempuh perjalanan Jogja-Purwokerto bolak-balik dalam sehari membawa anak orang. Luar biasa kekuatan cinta!

Sekitar jam 7 malam kami memasuki wilayah purwokerto. Kami sudah kembali akur. Biarlah danaku habis yang penting gendu-ku cayank tak lagi ngambek.
Jalanan Sokaraja-Purwokerto, 19:25 WIB.
Lihat wajahku di spion. Jika tak konsentrasi full, kantuk akan menyerangku dengan ganas!
>


Akhirnya kami sampai ke Purwokerto dengan selamat sentausa tanpa halangan berarti kecuali stamina.
Pagi setelah perjalanan ini saya pun ambruk. Badan pegal linu, demam ringan dan tak ada tenaga yang nampaknya telah dipinjam kemarin.
Purwokerto, Senin 3 Maret 2008 18:56 WIB.
Meja belajar gendu dengan beberapa oleh-oleh dari mission impossible! Foto inilah yang gendu tunjukkan saat menjengukku. Dan ini menjadi antibiotic yang mampu memberi asupan energi yang sangat signifikan .

Demikian kisah kami yang tak terlalu gokil tapi bagi kami sangat berkesan.